0 BENARKAH ANDA INGIN SUAMIMU HARMONIS?


Andaikan saya bertanya kepadamu, hai istri yang terhormat ! : “Benarkah Anda menginginkan suamimu bahagia?”, niscaya Anda segera menjawab : “Ya”. Pasalnya pengakuan tak lebih dari sekedar lidah tak bertulang, sedangkan upaya membahagiakan suami tidak akan terealisir hanya dengan ucapan, tapi harus diwujudkan dengan tindakan serta usaha, sementara tindakan berkorelasi signifikan dengan kepribadian dan kesiapan serta persiapannya.
Oleh karena itu, sejauh ketulusan pribadi dan keterlibatannya dengan Robb-nya, sejauh itu pulalah pengorbanan terus-menerus dan usaha mati-matian demi membahagiakan suami diupayakan, sebab tindakanmu tidak hanya berhubungan dengan suami, bahkan kepada Alloh l Sang Pencipta, tidak semata-mata hubungan timbal-balik antara dirimu dan suamimu, dengan kata lain manakala suamimu mengurangi quota hakmu, kamu akan berbalik menyikapi seperti halnya sikap suamimu. Akan tetapi iman yang meyakini janji Alloh dengan keharmonisan di dunia dan kebun surga di akhirat kelak, merupakan faktor pendorong tiada taranya, namun sikap demikian tidak direfleksikan kecuali oleh kepribadian istri sholihah yang didambakan setiap pria untuk dijadikan istrinya. Di mana kualifikasinya antara lain :
1) Tatapan matanya hanya tertuju kepada suaminya, ia menyukai suaminya, tidak memandang selain suaminya, ia tidak membanding-bandingkan dengan yang lain dan tidak mendambakan atau tidak menyukai selain suaminya.
2) Istri hanya berada di rumahnya dan meminimalisir keluar rumah kecuali sangat darurat.
3) Istri bersegera damai kepada suaminya meski dalam kondisi dizholimi lantaran mengamalkan hadits :
« أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ؟ الْوَدُوْدُ ، الْوَلُوْدُ ، الْعَوُوْدُ الَّتِيْ إذَا ظُلِمَتْ قَالَتْ : هَذِهِ يَدِيْ فِيْ يَدِكَ لَا أَذُوْقُ غُمْضًا حَتَّى تَرْضَى » ‏
“Maukah aku beritahukan kepadamu tentang wanita-wanita penghuni surga? Mereka itu amat penyayang, banyak anak, menguntungkan suami. Jika dizholimi ia berkata dengan nada lembut : “Ini tanganku berada di genggaman tangaanmu, sedangkan aku tak kuasa memejamkan mataku hingga Anda menyukaiku.”

4) Amat mengutamakan terpenuhinya hak suami, mengurus putra-putrinya, mendidik mereka dengan baik hingga di mata umum dinilai tak pernah menyia-nyiakan hak.
5) Ia sangat menyukai keindahan karakter serta perangainya hingga suaminya tak pernah melihat padanya selain tampak indah, penampilannya indah, baunya harum, tutur katanya lembut dan tindak-tanduknya serba elok.

6) Ia menghindari kesan tak menyenangkan baik ketika di hadapan suaminya maupun saat suami sedang pergi. Makanya wanita bijak mengupayakan agar suami tak pernah melihat darah haidh atau nifas, tidak muntah, atau buang air kecil, atau buang air besar di depannya dengan dalih kebebasan kedua belah pihak, sebab dengan sikap itu bisa-bisa suami menjauh dari sang istri.
7) Ia senantiasa menghindari penampilan tidak cantik sebab ia sadar bahwa wanita harus merangsang selera suami, di samping itu wanita memang diberikan fitrah senang berhias dan mempercantik diri.
8) Penghormatan sang istri kepada suami merupakan keluhuran yang membahagiakan suami dan menyenangkan hatinya.
9) Berusaha menjadi ahli dalam masak-memasak, rapi, bersih baik dirinya maupun putra-putrinya dan juga rumahnya.
10) Bijak lagi serasi dalam bersikap, bertutur kata dan ketika membutuhkan sesuatu.
11) Sabar mengemban tanggungjawab rumahtangga dengan keberanian dan cakap.
12) Termasuk yang membuat bahagia dan menggembirakan hati suami mengucapkan kata “selamat jalan” di depan pintu saat suami keluar rumah dan menyambut kedatangannya seraya mengucapkan “selamat datang” ketika suami masuk rumah, di samping bersyukur atas kedatangannya dan senantiasa mendoakan untuk kebaikan suami.
13) Sedangkan wanita yang menginginkan suaminya bahagia sudah barang tentu ia selalu mentaatinya dan tidak memprioritaskan seorangpun selain suaminya, sebab hanya dengan demikian Alloh menyukainya, dan menjaminnya dengan surga, ini yang pertama. Kemudian menyenangkan suaminya, membahagiakannya, bahagia bersama suami, menciptakan suasana hidupnya bersama suaminya senantiasa penuh cinta-kasih serta saling pengertian, membahagiakan anak-anaknya dan bermanfaat bagi masyarakat melalui usaha membangun keluarga sukses lagi harmonis.
14) Wanita yang menginginkan suaminya bahagia tak pernah mengucapkan kata-kata lantang di hadapannya dan tidak cemberut, meski dengan serta-merta suami menyakitinya namun justru istri meresponnya dengan jabat tangan, kata maaf dan tetap berlaku baik kepadanya.

Bagaimana mengambil hati suami?

Sungguh istri yang cakap berdiplomasi dialah yang mampu bersikap secara tepat apapun posisi, situasi dan kondisinya. Ia amat memahami perasaan serta emosi suami jauh sebelumnya tanpa mengurangi sedikitpun fitrah serta karakter kewanitaannya. Apapun situasi dan kondisinya ia senantiasa tampil beda dan aktual dalam hidup dan kehidupannya.
Tutur kata manis sebagai ciri khas keindahannya, senyum ceria lagi cantik, aroma wangi nan memukau. Sementara gaun elok disertai belaian lembut pada kepala sang suami merupakan kebahagiaan tersendiri, di samping pilihan perhiasan serasi, bersahaja namun simponi juga membuat suasana cerah. Kalau Anda sanggup bersikap demikian, Anda tidak hanya mampu mengambil hati suami, bahkan sepenuh hatinya telah Anda miliki. Percayalah bahwa surve telah membuktikan itu.

Apa yang tidak disukai suami

1) Istri pembangkang, tak pernah hormat dan mentaati suami, lebih-lebih saat di hadapan orang lain.
2) Boros dan menghambur-hamburkan dalam beberapa hal yang tidak penting, khususnya pakaian dan bersolek.
3) Sering menggerutu dan komplain.
4) Hanya berkisar pada hal-hal tak berbobot atau bodoh pola pikir, bicara dan pusat perhatiannya.
5) Mengabaikan keindahan dirinya di hadapan suami, namun bersolek di hadapan yang lain.
6) Berlebihan memuliakan keluarganya, akan tetapi amat mengabaikan keluarga suaminya.
7) Sering dusta, padahal sikap ini menghilangkan keparcayaan suami terhadap istrinya.
8) Menyanjung lelaki lain di hadapan suami karena menyinggung perasaannya, boleh jadi memicu kecurigaannya.
9) Ada hal lain yang dibenci suami bahkan dimurkai Alloh l dan menyebabkan istri masuk neraka!!

Dalam hadits disinyalir :
« ... رَأَيْتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ مَنْظَرًا كَالْيَوْمِ قَطٌّ أَفْظَعَ ، وَ رَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ قَالُوْا : بِمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ، قَالَ : بِكُفْرِهِنَّ ، قِيْلَ : أَ يَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ قَالَ : بِكُفْرِ الْعَشِيْرِ وَ كُفْرِ الْإحْسَانِ ، لْوْ أَحْسَنْتَ إلَى إحدَاهُنّ الدّهْرَ ثُمّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئاً قالَتْ : مَا رَأَيْتُ خَيْراً مِنْكَ قَطّ»
“ … tak pernah aku lihat neraka lebih buruk daripada sekarang, aku menyaksikan mayoritas penghuninya perempuan”. Lantas para sahabat bertanya : “Mengapa demikian wahai Rosûlulloh?”. Lalu beliau menjawab : “Mereka tak tahu diuntung”, lalu beliau ditanya lagi : “Apa mereka kafir kepada Alloh?”. Beliau menjawab : “Mereka menutup mata kebaikan dan jasa suami, sekiranya anda berbuat baik kepada salah satu di antara mereka sepanjang usianya kemudian ada sedikit saja yang tidak ia inginkan dari dirimu, niscaya mengatakan : “Aku tak pernah merasakan sedikitpun kebaikan darimu”.”

10) Mengungkap rahasia yang terjadi antara suami-istri khususnya perihal keluarga dan lain sebagainya.

Catatan :

Pernah saya membaca buku, tentang suami yang punya istri lekas marah hanya karena faktor sepele. Ketika ia mencapai puncak kemarahannya dan keranjingan, suami memukul kedua pundaknya, dadanya atau punggungnya, lalu berlindung kepada Alloh dari setan yang terkutuk, membaca fatihah, membaca tiga macam ta´awwudz tiga kali, ternyata kiat ini mampu mengusir gangguan dari dalam hatinya, kemudian wanita itu menjadi tenang. Wallôhu a´lam .


PAHALA ISTRI SHOLIHAH

Apa yang sudah dijelaskan di depan kita memperoleh kesan bahwa betapa istri sholihah mencurahkan segenap energinya secara maksimal dan memberikan pengorbanan yang sangat besar untuk menjadi istri yang sholih. Lalu apa pahala setimpal baginya?
Yang paling prioritas bagi kehidupan suami-istri adalah proses memperoleh pahala besar, sedangkan ketaatan wanita kepada suaminya bernilai jihad, bahkan yang menjadi idaman wanita yang mentaati suaminya adalah pahala luar biasa dengan kategori jihad dijalan Alloh l sebagaimana disinyalir hadits tentang wanita yang datang kepada Nabi n yang telah disebutkan di depan.
Tegas sekali bahwa dambaan istri sholihah adalah pahala besar di dunia dan akhirat. Di dunia sudah disayang suami, hidup harmonis dan terhormat di tengah-tengah masyarakat. Adapun di akhirat selamat dari siksa teramat pedih yang sudah diancamkan Alloh l buat istri yang nista. Makanya istri sholihah akan masuk surga yang belum pernah terlihat mata, belum pernah telinga mendengar dan belum pernah terlintas dalam hati manusia, sementara yang lebih indah dari itu bahwa dirinya akan menjadi bidadari tercantik dan bermata indah menawan di surga kelak.
Banyak hadits tentang pahala istri sholihah, di sini akan dikemukakan sebagian agar hatimu menjadi tenteram untuk menyongsong janji Alloh dan memotifasi Anda mencurahkan pengorbanan semaksimal mungkin serta kesabaran dalam rangka membahagiakan suami. Mohonlah kepada Alloh l agar melapangkan hatimu untuk meraih keharmonisanmu dan suamimu di dunia dan akhirat .

Dari Abî Amâmah berkata : “Telah datang kepada Nabi n seorang wanita bersama dua anaknya yang masih kecil, yang satu masih dalam kandungan dan yang lain dipandunya, lantas Rosûlulloh n bersabda :
« حَامِلاَتٌ مُرْضِعَاتٌ رَحِيْمَاتٌ لَوْلَا مَا يَأْتِيْنَ إِلَى أَزْوَاجِهِنَّ دَخَلَ مُصَلِّيَاتُهُنَّ الْجَنَّةَ»
“Wanita-wanita hamil, menyusui lagi kasih sayang kepada anak-anaknya, sekiranya mereka tidak menutup mata kebaikan suaminya, begitu juga yang menegakkan sholat, niscaya masuk surga.”
« إذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا، وَصَامَتْ شَهْرَهَا، وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، قِيْلَ لَهَا: اُدْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ »
“Apabila seorang wanita menegakkan sholat wajib lima waktu, berpuasa Romadhôn, menjaga kemaluannya dan mentaati suaminya, niscaya dikatakan kepadanya : “Masuklah kamu kedalam surga dari pintu manapun kamu sukai.”
« اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ‏»
“Dunia ini kenikmatan dan sebaik-baik kenikmatannya wanita sholihah.”

Opini :

 Manakala matahari terbenam dan dunia gelap-gulita, ketika itu wanita sholihah menjadi pelita penerang hati suaminya. Apakah Anda termasuk dalam kategori itu wahai istri?
 Istri sholihah laksana perbendaharaan bagi sang suami, dari situ ia menemukan mutiara-mutiara baru.
 Sesuata paling indah yang dimiliki istri sholihah adalah putih bersih hatinya.
 Musim semi berkonotasi dengan kebun raya, kebun raya menumbuhkan bunga-bunga penghasil madu. Hendaklah istri-istri sholihah itu Anda ciptakan dari madu.
 Istri sholihah perbendaharaan yang didambakan setiap orang, berbahagialah orang yang menggapainya.
 Istri sholihah lebih jitu untuk membangun, mengangkat martabat dan keharmonisan umat daripada para penasehat dan panglima.
 Wanita sholihah sebagai indikasi betapa tinggi daya cipta Alloh Sang Pencipta.
 Istri sholihah lebih berfaedah bagi keluarganya daripada seribu buku dalam lembaga pendidikan dan kehidupan suami-istri.
 Istri sholihah membuat suaminya berbulan madu terus-menerus.


Enam indikasi istri sholihah :

1) Kebaikannya semata-mata lantaran takut kepada Alloh l .
2) Ia mempunyai perbekalan berupa kepuasan apapun yang dikaruniakan oleh Alloh l.
3) Perhiasannya adalah kederwanannya dengan apa yang ia miliki semata-mata untuk Alloh l.
4) Ia punya type sanggup melayani suami secera proporsional atas dasaar mencari keridhoan Alloh l.
5) Ia punya type siap mati lantaran antosias dengan perjumpaan kepada Alloh l.
6) Kebanggaannya adalah rasa tawadhu´ di hadapan Alloh l.

• Istri sholihah kebaikannya disupplai dari dua sumber yakni memiliki kemampuan menjaga kehormatan dirinya dan integritas .
• Istri sholihah kelihatan jati dirinya saat dihadapkan pada berbagai bentuk fitnah, cobaan, penderitaan bertubi-tubi dan krisis serta problematika.
• Istri sholihah amat mencintai suaminya .
• Istri sholihah bersolek untuk suaminya melalui karya seninya dan kebijakan tutur katanya.
• Istri sholihah sosok brillian hingga mampu memahami kejeniusan suaminya namun tak mengerti kekurangan dan kesalahan suaminya.Istri sholihah menerima suaminya sepenuh hati demi mencapai kestabilan jiwa suami, sedangkan suami menerima kestabilan jiwanya lantaran istrinya yang sholihah.
• Istri sholihah adalah wanita yang sadar bahwa missi kehidupannya menciptakan suasana keharmonisan sang suami.
• Istri sholihah membicarakan kebaikan suaminya, banyak berkorban demi keharmonisan rumahtangganya dan tidak bertutur kata kecuali kebenaran.
• Tak sedikitpun awan mendung di dunia ini kuasa menutupi senyuman istri sholihah buat suaminya.
• Keharmonisan istri sholihah tak pernah surut lantaran membahagiakan dan mengharmoniskan suaminya.
• Airmata istri sholihah lebih berharga daripada seluruh darah istri busuk.
• Sikap istri sholihah senantiasa menyenangkan suaminya dan sabar merespon apapun sikap suami yang tak menyenangkan.
• Istri sholihah merupakan bunga rumah yang harum. Rumah tanpa istri sholihah bagaikan pot tanpa bunga dan botol tanpa minyak wangi.
• Istri sholihah sangat mengrti suaminya di saat suami tidak mengerti dirinya sendiri.
• Ketika menyadari suaminya dalam kesedihan, istri sholihah berusaha setulus hati merubah kondisi dari pesimis menjadi optimis, dari derita menjadi bahagia, dari carut marut menjadi enjoy, dari papa menjadi cukup dan dari suram menjadi hening.
• Istri sholihah makhluk paling indah di antara makhluk-makhluk Alloh di permukaan bumi.
• Istri sholihah tidak mendengar meski tidak tuli, ia tidak melihat meski tidak buta dan ia tidak berbicara meski tidak bisu. Sungguh apa yang diperbuatnya semata-mata lahir dari hatinya yang bersih bukan reaksi sesaat.
• Wanita yang paling banyak senyum kepada suami adalah istri-istri yang sholih, oleh karenanya giginya bagaikan permata yang terpancar dari cahaya hatinya.
• Istri sholihah adalah satu-satunya wanita yang mampu membuat keluarganya dan keluarga suaminya sama-sama mencintainya.
• Istri sholihah adalah kunci rumah yang kita pakai membuka surga dunia.
• Tutur kata istri sholihah adalah madu murni yang jernih.

Seakan di bawah lesannya ada Hârût meludahkan untaian kata luar biasa
Diamnya seakan bidang-bidang taman yang penuh bunga

• Istri sholihah mengutamakan keluarganya dan mendahulukan suaminya sebelum dirinya sendiri.
• Cemburu pada wanita sholihah adalah amanat sedangkan tuduhan miring rekayasa sebagai perbuatan tercela.
• Istri sholihah menyebar gula dalam setiap tutur kata di depan suaminya dan memisahkan garam dari setiap tutur katanya.
• Istri sholihah dicintai suaminya sebab keluhuran budinya membuatnya tentram, pesonanya membuatnya harmonis dan senyumannya sebagai konpensasi jerih payahnya.
• Istri sholihah membelanjakan hartanya menurut kesanggupan nafkah sang suami bukan diukur menurut standard kebutuhannya.
• Istri sholihah ceria berseri-seri, dengan kata lain suaminya senag memperhatikan lantaran menyenangkan, ketika sang suami menatapnya, ketika itu pula merasakan sejuknya pandangan.
• Istri sholihah adalah bunga mekar di taman yang benar-benar nyata, sedangkan manusia atau anak Adam berada di sekitarnya, ia adalah bunga yang indah lagi harum, namun juga berduri guna melindungi dirinya.
• Wahai istri yang mulia, … Apakah Anda begitu? Jika memang jawabnya “Ya”, maka berbahagialah suamimu yang telah menggapai permata berharga. Saya berharap kepada Alloh agar berkenan memperbanyak jumlah istri-istri sepertimu, lebih-lebih di era di mana istri sholihah laksana mata uang yang sulit didapat, ia sedang didambakan setiap lelaki. Jika Anda menjawab “Tidak”, (naûdzu bil -llâh min dzâlika), bersiap-siaplah karena krisis dan problem yang tak berkesudahan menghadangmu cepat atau lambat.

Karena logika mengatakan bahwa : 1 + 1 = 2, mustahil 1 + 1 = 3 kecuali menurut persepsi keblingernya istri celaka, misalnya :
Dua orang pasien dengan penyakit yang sama pergi ke dokter, setelah diperiksa, maka dokter menentukan obatnya. Lantas dokter bilang : “Jika Anda berdua ingin sembuh harus meminum obat tersebut secara teratur”. Lalu kami katakan kepada pasien yang pertama : “Minumlah obatnya hingga Anda sembuh dari sakit”. Lantas ia menjawab : “Saya tidak percaya bahwa obat itu akan menyembuhkanku”. Ia tidak mau meminum obatnya lalu mati lantaran penyaki tersebut.
Kepada pasien yang kedua kami katakan : “Anda mesti meminum obat itu”. Lalu menjawab : “Saya percaya bahwa obat ini akan menyembuhkanku dari sakit insyâal -llôhu, namun aku tak suka obat itu karena pahit”, lantas ia mati lantaran penyakit yang dideritanya.
Mana di antara dua pasien yang terbaik? Yang pertama ataukah yang kedua? Tak ada bedanya antara yang pertama dan yang kedua, sebab dampaknya sama saja yakni kedua-duanya mati dengan sebab penyakit yang sama. Maka dari itu aku katakan wahai istri yang mulia … :
Wanita pertama tak pernah menghiraukan nasehat baik dari dekat maupun dari kejauhan sebagaimana aku sebutkan di depan, karena hidupnya hanya menuruti keinginannya sendiri, ia hanya menuruti kecenderungannya yang buruk, akibatnya Alloh menimpakan kepadanya bencana, maka sengsaralah dirinya dan menyengsarakan suaminya.
Wanita yang kedua memperhatikan nasehat, ia tertarik padanya, memujinya, sebab ia tahu bahwa nasehat itu baik, ia menganalisa bahwa nasehat itu menguntungkan kebahagiaan dirinya dan suaminya. Namun nasehat itu dirasa berat. Nasehat itu menjadi beban dirinya, memerlukan kesabaran dan pengorbanan. Oleh karena itu ia tidak melaksanakan sedikitpun nasehat itu, hidup serta kehidupannya berjalan menurut tradisi dan kebiasaan saja, maka akibat serta dampak yang menimpa kedua wanita itu sama saja, mereka berdua tidak merefleksikan karakter istri sholihah.
Mengerti sesuatu tidak bisa merubah kondisi sedikitpun jika tidak diwujudkan dengan perbuatan, demikian juga antusias dan semangat sesaat. Oleh karena itu mengikuti keinginan belaka adalah kesalahan dan kesia-sian.
Wahai istri yang mulia, bukanlah aib Anda melakukan kesalahan, namun aib adalah tidak menjadikan kesalahan pertama sebagai pelajaran untuk menghindari terulangnya kesalahan. Jika Anda mengulang kesalahan yang sama, saya menghimbau agar Anda banyak-banyak mohon ampun kapada Alloh l dan bersegeralah memperbaiki jalinan hubungan dengan suami.


BERBUAT BAIK KEPADA SUAMI
DAN MENGAMBIL HATINYA

Umumnya yang membahagiakan suami, manakala sang istri tidak mencari-cari masalah dan mempunyai i´ tikad baik untuk menyelesaikan masalah secepat mungkin, pasalnya kebanyakan problimatika suami-istri bisa diselesaikan melalui tutur kata yang lembut, atau kata maaf, atau dimulai dengan pelukan antara suami-istri.
Sebenarnya sangat baik saat timbulnya problimatika rumahtangga, kemudian istri segera berdamai dengan suaminya sebelum masalah menjadi besar dan semakin kompleks.
Wanita bijak melalui kepiawaiannya ia sanggup mengendalikan suasana panas lagi tegang agar menjadi tenteram lagi rileks, baik dengan tutur kata yang lemah lembut maupun sikap yang bijak.
Sama saja baik sang istri yang berlaku zholim atau dizholimi, maka seyogyanya kedua belah pihak antara suami-istri senantiasa berdamai, atau istrilah sebaiknya yang cakap untuk menyelesaikan serta memecahkan masalah karena faktor-faktor sebagai berikut :
1) Wanita lebih gemar mensukseskan kehidupan suami-istri dan lebih maslahat untuk itu.
2) Pria lebih kasar daripada wanita, sementara wanita dengan kelembutannya dan simpatinya lebih sanggup meminimalisir masalah.
3) Karakter dan fitrah wanita cenderung mengalah, rendah hati dan gemar mengambil hati pria.
4) Pria biasanya lebih dominan bersikap keras kepala daripada wanita, sekiranya wanita menunggu-nunggu agar suami terlebih dahulu berdamai dan menyelesaikan masalah, itu terlalu berlarut di samping masalah menjadi semakin kompleks.
5) Biasanya usia istri lebih muda daripada suaminya, ditinjau dari segi umur hendaklah yang muda menghormati yang lebih tua dan yang muda lebih dulu memulai damai.
6) Rosûlulloh n memerintahkan kita mendengar dan mentaati pemimpin, sedangkan sang suami adalah pemimpin bagi istrinya, otomatis istri mesti berlaku hormat dan memuliakan.
7) Istri sholihah menyadari bahwa bersegera damai membuat dirinya lebih terhormat dan istimewa di sisi Alloh l berdasarka hadits :
« لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِيْ يَبْدَأُ بِالسَّّلَامِ » ‏
“Tidak halal bagi seorang muslim bersikap cuek terhadap saudaranya lebih dari 3 hari, mereka berdua berpapasan lalu saling berpaling ke belakang, padahal yang takbaik di antara mereka berdua adalah yang lebih dulu berdamai.”
« أَطْوَعُكُمْ لِلَّهِ الَّذِيْ يَبْدَأُ صَاحِبَهُ بِالسَّلَامِ »
“Orang yang paling taat kepada Alloh adalah yang lebih dulu berdamai kepada saudaranya.”

Suami berkewajiban menghargai serta menyambut baik bergegasnya istri untuk berdamai, tidak justru berlagak sombong dengan pelanggaran dosa, seringkali lelaki bersikap keras kepala, sukanya cuma menjatuhkan dan menghinakan, (meskipun ini kesalahan sikap dan kebodohan sang istri juga pasalnya ia tahu bahwa itu salah). Semoga Alloh memperbaiki Anda … hai suami muslim, mestinya cukup Anda mengatakan pada istrimu : “Tak mengapa wahai kekasihku, saya tahu bahwa Anda tak akan mengulangi kesalahan yang sama, sebab Anda adalah istri sholihah”. Di sampng itu hendaklah suami segera menyambut baik sikap istrinya dan memuliakannya lantaran sikap baiknya. Maka sikap toleransi dan segera menyambut baik merupakan akhlak yang bagus dan mulia, sedangkan berkeras kepala dan tidak menyambut baik sikap damai yang dilakukan istri sebagai akhlak yang buruk lagi tercela.
Imam Syafi´î v berkata : “Siapapun yang seharusnya marah namun tidak marah berarti dia himar dan barangsiapa disenangkan namun tidak menyambut baik berarti dia setan”.

Sumber : Diary seorang teroris

0 KUPINANG ENGKAU DENGAN SYAHADAH

Kupinang Engkau dengan Syahadah...


Wahai saudaraku ….
Andai kau tahu
Debu yang menempel pada kakimu fie sabilillah
Dapat menyelamatkanmu dari neraka Jahannam
Kenapa kau tinggalkan jihad ….. ???!!!

Wahai saudaraku …..
Andai kau faham
Sekejap dalam medan jihad
Dapat mengharuskanmu menikmati kenikmatan
dan keindahan Jannatun Na’im
Kenapa memilih selain jihad ….. ???!!!

Wahai saudaraku …..
Andai kau mengerti
Berak dan kencingnya kudamu fie sabilillah
Bernilai pahala bagimu disisi Robmu
Kenapa bimbang untuk berjihad ….. ???!!!

Wahai saudaraku …..
Andai kau tahu
Timah panas yang mengoyak tubuhmu dapat menghantarkanmu memeluk mesra Bidadari jelita
Kenapa takut berjihad ….. ???!!!

Wahai saudaraku …..
Andai kau faham
Dentuman Bom yang mencabik-cabik dagingmu dapat menyibukkanmu bercanda ria di pangkuan Bidadari jelita selama berpuluh-puluh tahun tanpa bosan
Kenapa ragu untuk berjihad …..???!!!

Wahai saudaraku …..
Andai kau mengerti
Ledakan Mortir yang meremukkan tulang belulangmu dapat menghantarkanmu berbaring mesra di atas kasur dalam kamar mempelai bersama bidadari yang tidak pernah
hilang keprawanannya
Kenapa enggan berjihad …..???!!!

Wahai saudaraku …..
Andai kau faham
Tetesan darah pertama yang kau tumpahkan di medan jihad dapat menghapuskan semua dosa-dosamu
Tidak ada pilihan lain bagimu selain jihad …..???!!!

Duhai saudaraku …..
Seandainya engkau faham ……
Seandainya engkau mengerti ……
Seandainya engkau tahu …..
Seandainya engkau berakal …..
Engkau pasti memilih jihad …..

Sumber : Diary sang teroris

0 Pesan kepada Ukhti Muslimah

ILLA UKHTINA HABIB

Ingin kami ucapkan beberapa kalimat ini kepadamu, di bawah desingan peluru peluru musuh, dan gelegar ledakan roket yang telah menjadi hiburan kami, Surat ini juga dari kami yang kini terpaksa meringkuk di balik jeruji besi hanya karena kami menyatakan bahwa “Tuhan Kami Adalah Allah” Surat ini kami tujukan kepadamu Ukhti Muslimah…karena kau adalah permata, kau juga perhiasan mulia yang melengkapi keindahan ajaran Nabi saw. Beberapa kalimat yang tulus keluar dari lubuk hati kami sebagai saudara yang melaju bersama ke arah yang satu. Demi menyelamatkan mu dari cakaran manusia serigala bermuka domba.

Ukhti Muslimah….!!! Kami tidak akan membawa sesuatu yang baru, semoga kau tidak bosan mendengarnya….walau rasanya sudah berkali kali kami ingatkan bahwa tiada agama manapun yang lebih memuliakan wanita sebagaimana Islam. Jika kau masih tidak percaya, lihatlah pada sejarah .. apa yang di lakukan oleh penghuni zaman jahiliyah terhadap kaummu, bukankah mereka menguburkanmu hidup hidup hanya karena takut jatuh miskin atau durhaka?

Bukankah engkau adalah yang paling banyak di perjual belikan bagai barang rongsokan sebagai hamba sahaya di zaman kerajaan Romawi ? Bahkan hingga kini….. di suatu zaman yang mereka juluki zaman kebebasan dan kemerdekaan, mereka teruskan tradisi itu, hanya saja,… kini mereka bungkus dengan kata kontes ratu cantik, yang berisi memperlombakan ukuran tubuh terbaik bagi para lelaki hidung belang. Entah apa yang mereka cari, betapa jauh mereka menghinakanmu, betapa buruknya gambaranmu di mata mereka, bagi mereka kau tidak lebih dari sekerat tebu gula segar, yang setelah manis sepah di buang…. Kemudian belum puas dengan itu mereka masih melolong bahwa Islam menzalimi hak hak wanita…sungguh sebuah penyesatan dan pendustaan yang nyata.

Ukhti Muslimah….!!! Usaha perbaikan dirimu adalah sebuah cita cita abadi, dan tujuan yang mulia, serta harapan seluruh Arsitek bagi proyek perbaikan umat. Karena mereka tahu, kunci perbaikan umat ini ada pada dirimu, jika dirimu baik…maka baiklah seluruh umat ini. Demi Allah..!!! berpeganglah dengan tali ajaran agama ini, dan laksanakanlah segala perintahnya, Jangan sekali kali kau langgar larangannya, apalagi mempersempit hukum hakamnya, karena semua itu hanya akan lebih mengekang kehidupanmu sendiri, karena tiada keadilan yang lebih luas dari keadilan Islam terhadapmu dan kaummu, jika kau lari dari keadilan Islam, kau hanya akan menemui kedzaliman dunia kufur terhadap hak hak kehidupanmu. Berpeganglah sepertimana Umahatul Mukminin mencontohkannya dalam kehidupan sehari hari mereka, contohilah juga isteri isteri para sahabat dan kaum Muslimin yang telah membuktikan nilai keindahan permatamu.

Ukhti Muslimah…!!! Ketahuilah agama ini bukan hanya di mulut, tetapi ia menuntut adanya amal nyata, laksanakanlah perintah perintahnya dan jauhilah larangan larangannya walaupun tanpa kalimat “jangan”. Sesungguhnya kamu tidak perlu pengakuan timur dan barat karena kemuliaanmu dan harga dirimu telah ada sejak kau di lahirkan, dan bagi kami wahai Ukhti Muslimah,.. kau lebih mulia dari sekadar makhluk yang tergoda gemerlapnya dunia dan jeritan pekikan mungkar yang di sifatkan dengan “suara keledai” (Qs. Luqman 19) oleh Sang Maha pencipta, kami tak rela melihatmu tenggelam dalam tipuan mereka yang selalu ingin menghinakanmu dengan berpura pura memujimu tetapi melucuti pakaian dan menelanjangimu di depan mata jutaan bahkan milyaran manusia di dunia, mereka hanya menginginkan kehormatanmu sama dengan binatang yang sememangya tidak pernah berpakaian, mereka hanya menginginkanmu mencoreng coreng mukamu dengan polesan polesan yang merusak wajah alamimu yang indah hasil ciptaan yang Maha Indah, mereka hanya ingin menjadikanmu pemuas nafsu setan setan jantan berhidung belang. Mereka hanya ingin menjadikanmu bagaikan tong sampah yang hanya di isi dengan benih benih buruk dan tercela.

Demi Allah kami tidak rela. Karena bagi kami kau sangat berharga, bagi kami kau adalah pelengkap kehidupan duniawi dan Ukhrawi, maka besar jualah harapan kami padamu…

Ukhti Muslimah….!!! Seorang Muslimah tidak pantas untuk menjadi keranjang sampah yang menampung berbagai budaya hidup dan akhlak yang buruk, apalagi budaya barat dengan berbagai kebiasaannya yang terlihat kotor dan menjijikkan itu. Seorang Muslimah harus mandiri dalam memilih cara hidupnya sendiri, tentu semuanya berangkat dari acuan “Firman Allah” dan “Sabda NabiNya saw.” . Seorang Muslimah selalu ingat bahwa pada suatu hari dahulu Rasulullah saw. Pernah bersabda: “Barang siapa yang meniru (kebisaaan) suatu kaum, maka ia (termasuk) golongan mereka”. Maka ia sangat berhati hati dan kritis dalam menentukan tatacara hidup, berpakaian, dan bermu’amalah.

Ukhti Muslimah….!!! Engkau adalah puncak, kau juga kebanggaan dan kau juga lambang kesucian. Kau menjadi puncak dengan Al qur’an dan kebanggan dengan Iman serta lambang kesucian dengan hijabmu dan berpegang pada ajaran agama ini. Lalu mengapa ada lambang kesucian yang malah meniru cara hidup yang najis

Bagi umat ini, Ibu adalah Madrasah terbaik jika ia benar benar sudi mempersiapkan dan mengajari serta mendidik generasinya. Kiprah seorang Ibu dalam membentuk generasi Umat terbaik dan Mujahid penyelamat serta pengawal hukum hakam Allah adalah sangat penting. Lihatlah para pahlawan kita, mereka yang telah membuktikan dengan nyataa keberanian dan keikhlasan mereka dalam memperjuangkan tegaknya kalimatullah…mereka semua tidak lepas dari sentuhan lembut para ibu yang dengan sabar dan tanpa bosan terus mendidik mereka untuk menjadi mahkota bagi agama ini. Sadarilah…

Kewajiban seorang ibu bukan hanya memilihkan pakaian yang sesuai bagi anaknya, atau memberikan makanan yang terbaik baginya, sungguh tanggung jawab ibu jauh lebih besar dari sekadar itu semua, karena itulah kami sangat memerlukan seorang Isteri atau ibu yang bisa mendidik anaknya dengan dien Allah dan Sunnah NabiNya Saw.

Kami memerlukan wanita yang bisa mengajari anak perempuannya untuk menutup auratnya dan berhijab dengan baik, serta mendidiknya untuk mempunyai sikap malu dan berakhlak mulia. Kami tidak sedikitpun perlu kepada wanita yang hanya bisa mendidik anaknya untuk bertabarruj dan bernyanyi serta menghabiskan waktunya bersama televisi dan Film film yang berisi "Binatang binatang" yang di puja.

Kami juga tidak perlu kepada wanita yang hanya bisa membiasakan anak perempuannya berpakaian mini sejak kecil, di mata kami wanita seperti itu bukanlah seorang Ibu, tetapi ia lebih tepat untuk di sebut sebagai Racun bagi kehidupan anaknya sendiri, ibu yang seperti itu tidak bertanggung jawab dan ia juga pengkhianat Umat dan agama ini serta menzalimi anaknya sendiri.



Kami memerlukan wanita suci yang bisa mengajari anak anaknya taat kepada Rabbnya karena melihat ibunya selalu Ruku’ dan Sujud. Kami memerlukan seorang ibu yang bisa memenuhi rumahnya dengan alunan suara Al Qur’an bukan alunan suara suara Setan atau Namimah serta Ghibah yang sanagt di benci oleh Allah dan RasulNya, supaya rumahnya menjadi rumah yang sejuk dan tenang serta bersih dari unsur unsur najis nyata atau maknawi.

Kami memerlukan wanita yang dapat mengajari anak anaknya untuk selalu bertekad mencari Surga Allah bukan hanya mengejar kenikmatan harta dunia, kami memerlukan wanita yang bisa mengajari anaknya untuk siap melaksanakan Jihad fi Sabilillah serta menyatakan permusuhannya kepada musuh musuh Allah, dan kami memerlukan wanita yang bisa mengajari anaknya untuk mendapatkan kehidupan abadi di sisi Rabbnya sebgai Syahid dalam perjuangan membela Firman Allah dan sabda Nabi saw.

Ukhti Muslimah….!!! Kami memerlukan wanita yang selalu mengharap pahala dalam melayani suami, hingga ia selalu taat dan menghiburnya serta tidak pernah sedikitpun ingin melihat wajah murung sedih sang suami. Kami memerlukan wanita yang selalu menjaga dien anak anaknya sebagaimana ia selalu menjaga kesehatan mereka. Salam hormat dari kami….

Salam hormat dari kami Kepada wanita yang sukses menjaga hubungannya dengan Rabbnya. Dan dapat beristiqomah pada Diennya, dan mempertahankan hijabnya di tengah badai cercaan lisan mereka yang jahil.

Salam hormat dari kami…..

Kepada wanita yang selalu tegas menjaga dirinya dari ber-Ikhtilat dengan lawan jenisnya yang bukan muhrim, dan menjaga dirinya dari pandangan lelaki yang di hatinya masih ada penyakit dan lemah. Salam hormat kepada wanita yang selalu menjaga agar dirinya tidak menjadi pintu masuk bagi dosa dosa dari berbagai jenis perzinaan.

Salam hormat dari kami….. Kepada wanita yang selalu sigap menutupi keindahan tubuhnya dengan hijab tetapi selalu memperindah diri di hadapan sang suami tercinta. Ia tahu bagaimana menjaga dirinya dengan tidak bepergian sendiri agar tetap terlihat mulia bahwa ia adalah wanita yang terjaga.


Demi Allah Ukhti ….

Wanita wanita yang seperti itulah kebanggan umat ini, mereka juga perhiasan masyarakat Islami, karena siapa lagi yang akan menjadi kebanggan itu kalau bukan mereka?

Apakah wanita yang selalu mengumbar aurat lengkap dengan berbagai polesan Tabarruj dan potongan potongan pakaian yang menjijikkan di tambah lagi cara berjalan yang meliuk liuk bagaikan unta betina itu? Ataukah wanita yang lisannya di selalu basahi dengan umpatan dan ghibah serta Namimah yang keji?

Ataukah wanita yang waktunya habis di pasar pasar malam dan Supermarket atau Mal? Kehidupannya hanya untuk melihat harga ini dan harga itu, toh semuanya juga tidak terbeli….bagi kami mereka adalah perusak kesucian Islam, mereka tidak pantas menyandang nama mulia sebagai “Muslimah” karena mereka justeru melakukan pembusukan dari dalam.

Ukhti Muslimah…!!! Ingatlah bahwa kehidupan dunia ini hanya sebuah persinggahan, bersiaplah untuk meneruskan perjalanan ke negeri abadi, jangan sampai engkau lena…

Persiapkanlah bekalmu dengan memperbanyak amal sholeh, sebagaimana kau persiapkan dirimu dengan baik jika kau akan berangkat menghadiri pesta penikahan atau bepergian ke tempat teman atau saudaramu, kini kau pasti akan melakukan suatu perjalanan yang tidak dapat kau elakkan lagi, hari dan waktunya pasti datang…lalu apakah engkau telah siap..???? kau akan melakuakn suatu perjalanan yang membawamu hilang dari inagatan seluruh manusia, baik saudara atau sahabat, tetapi sebenarnya kau masih bisa mengabadikan namamu jika kau ingin melakukannya, tirulah apa yang di lakukan oleh Masyitah, atau Asiah (isteri Fir’aun), atau Mariam binti Imran Ibu Nabi Isa yang mulia, atau A’isyah binti Abu Bakar ra. Yang telah membuktikan kepada dunia akan harga diri seorang wanita serta kejeniusannya.

Lihatlah betapa nama mereka harum dan kekal, namanya pasti kan sampai ke telinga orang terakhir yang terlahir di bumi ini nanti. Sebagai bukti bahwa sang pemilik nama juga sedang hidup kekal bahagia di Jannati Rabbil Alamin.

Tetapi coba bandingkan dengan mereka yang tertipu dengan gemerlap dunia, apalagi ia menjadi terkenal hanya karena ia terlalu berani mengumbar auratnya, atau ia berani memasang tarif yang tinggi untuk harga dirinya, apakah semua itu memberinya manfaat setelah mulutnya di penuhi dengan tanah di liang kubur? Berhati hatilah..jangan sampai kau terjerumus pada jurang yang sama, hingga kau akan menyesal di hari yang sudah tiada berguna lagi arti sebuah penyesalan.

Ikhwanukunna Fillah, Mujahid Fi Sabilillah.

0 KEKUATAN DALIL ISLAM PATAHKAN SALIB



0 Shodaqollahul ‘Adzim Setelah Membaca Al Qur’an

Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari

Dasar agama Islam ialah hanya beramal dengan Kitabullah dan Sunnah rasulNya. Keduanya adalah sebagai marja’ -rujukan- setiap perselisihan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Siapa yang tidak mengembalikan kepada keduanya maka dia bukan seorang mukmin. Allah berfirman (yang artinya), "Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An Nisa : 65).

Telah mafhum bersama bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk suatu urusan yang sia-sia, tetapi untuk satu tujuan agung yang kemaslahatannya kembali kepada manusia yaitu agar beribadah kepadaNya. Kemudian tidak hanya itu saja, tetapi Allah juga mengutus rasulNya untuk menerangkan kepada manusia jalan yang lurus dan memberikan hidayah -dengan izin Allah- kepada shirothil azizil hamid. Allah berfirman (yang artinya), "Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS An Nahl : 64).

Sungguh, betapa besar rahmat Allah kepada kita, dengan diutusnya Rasulullah, Allah telah menyempurnakan agama ini. Allah telah berfirman (yang artinya), "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan telah Kuridhoi islam itu jadi agama bagimu" (QS Al Maidah : 3).

Tak ada satu syariatpun yang Allah syariatkan kepada kita melainkan telah disampaikan oleh rasulNya. Aisyah berkata kepada Masyruq, "Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad itu telah menyembunyikan sesuatu yang Allah telah turunkan padanya, maka sungguh ia talah berdusta!" (HR. Bukhori Muslim).

Berkata Al Imam As Syatibi, "Tidaklah Nabi meninggal kecuali beliau telah menyampaikan seluruh apa yang dibutuhkan dari urusan dien dan dunia"

Berkata Ibnu Majisyun, "Aku telah mendengar Malik berkata, "Barangsiapa yang membuat bid’ah (perkara baru dalam Islam), kemudian menganggapnya baik, maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah, karena Allah telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu" (QS Al Maidah : 3).

Kaum muslimin -rahimakumullah-, sahabat Ibnu Mas’ud telah berkata, "Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru!". Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah-nambah sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak ide atau atau anggapan-anggapan baik dalam agama yang tidak ada contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala, tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah, dan bahkan yang demikian itu dianggap telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi’i, "Siapa yang membuat anggapan-anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru."

Ucapan "shodaqollahul adhim" setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin -sangat disayangkan-. Dari anak kecil sampai orang tua, pria atau wanita sudah biasa mengucapkan itu. Tak ketinggalan pula -sayangnya- para qori Al Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai membaca satu atau dua ayat AlQuran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu ?

Kaum muslimin -rahimakumullah-, mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah bid’ah, perhatikanlah keterangan- keterangan berikut ini.

Pertama: Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits Abdullah bin Mas’ud berkata, "Berkata Nabi kepadaku, "Bacakanlah padaku." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu sedangkan kepadamu telah diturunkan?" beliau menjawab, "ya". Maka aku membaca surat An Nisa hingga ayat "Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu)." (QS An Nisa : 41) beliau berkata, "cukup". Lalu aku (Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau berkaca-kaca."

Sahabat Ibnu Mas’ud dalam hadits ini tidak menyatakan "shodaqollahul adhim" setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya untuk menyatakan "shodaqollahul adhim", beliau hanya mengatakan kepada Ibnu Mas’ud "cukup".

Kedua: Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 6 dan Muslim no. 2308 dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata, "Adalah Rasulullah orang yang paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan ramadhan, sampai saat Jibril menemuinya -Jibril selalu menemuinya tiap malam di Bulan Ramadhan- bertadarus Al Quran bersamanya".

Tidak dinukil satu kata pun bahwa Jibril atau Nabi Muhammad ketika selesai qiroatul Quran mengucapkan "shodaqollahul adhim".

Ketiga: Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 3809 dan Muslim no. 799 dari hadits Anas bin Malik -radhiyallahu anhuma-, "Nabi berkata kepada Ubay, "Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membacakan kepadamu "lam yakunil ladzina kafaru min ahlil kitab" ("Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya)") (QS Al Bayyinah : 1). Ubay berkata , "menyebutku?" Nabi menjawab, "ya", maka Ubay pun menangis".

Nabi tidak mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membaca ayat itu.

Keempat: Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 4474 dari hadits Raafi’ bin Al Ma’la -radhiyallahu anhuma- bahwa Nabi bersabda, "Maukah engkau kuajari surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum aku pergi ke masjid?" Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku mengingatkannya dan beliau berkata, "Alhamdulillah, ia (surat yang agung itu) adalah As Sab’ul Matsaani dan Al Quranul Adhim yang telah diberikan kepadaku."

Beliau tidak mengatakan "shodaqollahul adhim".

Kelima: Terdapat dalam Sunan Abi Daud no. 1400 dan Sunan At Tirmidzi no. 2893 dari hadits Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, "Ada satu surat dari Al Quran banyaknya 30 ayat akan memberikan syafaat bagi pemiliknya -yang membacanya/ mengahafalnya- hingga ia akan diampuni, "tabaarokalladzii biyadihil mulk" ("Maha Suci Allah yang ditanganNyalah segala kerajaan") (QS Al Mulk : 1).

Nabi tidak mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membacanya.

Keenam: Dalam Shahih Bukhori no. 4952 dan Muslim no. 494 dari hadits Baro’ bin ‘Ajib berkata, "Aku mendengar Rasulullah membaca di waktu Isya dengan "attiini waz zaituun", aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih indah suaranya darinya".

Dan beliau tidak mengatakan setelahnya "shodaqollahul adhim".

Ketujuh: Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 873 dari hadits Ibnat Haritsah bin An Nu’man berkata, "Aku tidak mengetahui/hafal "qaaf wal qur’aanil majiid" kecuali dari lisan rasulullah, beliau berkhutbah dengannya pada setiap Jumat".

Tidak dinukil beliau mengucapkan setelahnya "shodaqollahul adhim" dan tidak dinukil pula ia (Ibnat Haritsah) saat membaca surat "qaaf" mengucapkan "shodaqollahul adhim".

Jika kita mau menghitung surat dan ayat-ayat yang dibaca oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta para tabiin dari generasi terbaik umat ini, dan nukilan bahwa tak ada satu orangpun dari mereka yang mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membacanya maka akan sangat banyak dan panjang. Namun cukuplah apa yang kami nukilkan dari mereka yang menunjukkan bahwa mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya adalah bid’ah -perkara yang baru- yang tidak pernah ada dan di dahului oleh generasi pertama.

Kaum muslimin -rahimakumullah-, satu hal lagi yang perlu dan penting untuk diperhatikan bahwa meskipun ucapan "shodaqollahul adhim" setelah qiroatul Quran adalah bid’ah, namun kita wajib meyakini dalam hati perihal maknanya bahwa Allah maha benar dengan seluruh firmannya, Allah berfirman, "Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya daripada Allah", dan Allah berfirman, "Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya dari pada Allah". Barangsiapa yang mendustakanya -firman Allah- maka ia kafir atau munafiq.

Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah.


Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-5 Tahun ke-1 / 10 Januari 2003 M / 06 Dzul Qo’dah 1423 H
Judul Asli: Ucapan Shodaqollahul Adhim setelah Qiroatul Qur’an Bid’ah

0 Tawasul Antara Sunnah, Bid’ah, dan Syirik

Redaksi Al Wala’ Wal Bara’

Do’a adalah seutama-utamanya pendekatan diri yang menghubungkan seorang hamba dengan penciptanya. Telah shahih hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda (yang artinya), "Doa adalah ibadah" (HR. Abu Dawud, disahihkan oleh Al Albany dalam Shahih Sunnan Abu Dawud) hal ini disebabkan karena pada diri orang yang berdoa terkumpul sifat kehinaan, ketundukan dan kebergantungan kepada Dzat yang di Tangan-Nya lah perbendaharaan segala sesuatu.

Dengan do’a yang kedudukannya seperti ini, Allah Azza Wajalla memerintahkan hamba-Nya untuk berdoa di setiap keadaan. Allah ta’ala berfirman "Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas" (Al A’raf:55). Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka bahwa di antara sarana-sarana diharapkan doa tersebut diterima adalah berdo’a dengan nama-nama dan sifat Allah, sebagaimana Allah katakan (yang artinya): "Hanya milik Allah asmaulhusna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaulhusna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al A’raf : 180)

Maka disyariatkan bagi orang yang berdo’a untuk memulai do’anya dengan bertawasul (menjadikan perantara) dengan menyebut nama Allah dan sifat-Nya yang berkaitan dengan doa tersebut. Apabila seorang muslim menginginkan kasih sayang dan ampunan Allah maka dia berdoa kepada Allah dengan nama-Nya yaitu Ar Rahman dan Ar Rahim, Al Ghafur, Al Karim. Apabila dia menginginkan rizki, maka dia berdoa kepada Rabbnya dengan nama Ar Razzaq (Maha Pemberi Rizki), Al Mu’thi (Maha Pemberi), Al Jawwad (Maha Penderma), demikianlah seorang yang berdoa hendaklah dia berdoa dengan perantaraan nama-nama yang sesuai dengan hal yang dia inginkan, karena hal ini menjadi sebab diterimanya doa.

Tawasul Yang Disyariatkan (Sunnah)

Tawasul dalam berdoa ada beberapa macam, di antaranya ada tawasul yang disyariatkan, ada pula tawasul yang terlarang. Di antara tawasul yang yang disyariatkan adalah tawasul dengan amalan shaleh yang telah dilakukan oleh seorang hamba. Allah ta’ala berfirman (yang artinya): "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu", maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti" (Ali Imran :193).

Maka perhatikanlah bagaimana mereka bertawasul dengan keimanan terhadap Rabbnya Jalla Wa’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisahkan kepada kita kisah tiga orang yang sedang berjalan, kemudian turunlah hujan lebat, sehingga mereka mencari tempat perlindungan di sebuah gua di bukit yang mereka daki, namun mereka terperangkap di depan pintu gua yang sangat kokoh sehingga mereka tidak bisa keluar darinya, merekapun berusaha untuk menyingkirkan batu tersebut akan tetapi mereka tidak mampu, akhirnya merekapun sepakat untuk berdoa kepada Allah Azza Wajalla dengan sebaik-baiknya amalan shaleh yang telah mereka kerjakan. Maka salah seorang diantara mereka bertawasul dengan perbuatan baktinya kepada orang tuanya, yang lain bertawasul dengan baiknya pengawasan dan penggunaan harta majikannya, dan yang lain dengan meninggalkan zina setelah zina itu memungkinkan baginya. Ketika salah seorang dari mereka berdoa maka tersingkirkanlah sedikit dari batu karang itu, akan tetapi mereka tetap tidak bisa keluar darinya, sampai lengkaplah ketiganya berdo’a yang akhirnya tersingkirlah batu karang tersebut dari depan pintu sehingga mereka bisa keluar darinya dengan leluasa. Maka disyariatkan bagi seorang muslim jika dia hendak berdo’a kepada Allah Azza Wajalla untuk bertawasul dengan amalan shaleh yang dia harapkan amalan itu ikhlas untuk Allah.

Di antara tawasul yang disyariatkan adalah memohon doa dari orang-orang shaleh yang masih hidup, hal ini karena seorang hamba berbeda-beda dalam kebaikannya, kedekatannya dan kedudukannya di sisi Allah. Oleh karena itu para sahabat begitu bersemangat meminta do’a kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan harapan diterima dan dikabulkan do’anya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata: "Saya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda "Masuk ke dalam sorga dari umatku sekelompok orang yaitu 70 ribu orang, wajah-wajah mereka bercahaya layaknya bulan purnama", berdirilah Ukasyah bin Mihshon berkata "Do’akanlah aku wahai Rasulullah agar aku termasuk di antara mereka", beliau bersabda "Ya Allah jadikanlah dia diantara mereka" (HR.Bukhari dan Muslim).

Di antara tawasul yang disyariatkan adalah menyebutkan kelemahan dan sangat butuhnya orang yang berdoa kepada Allah. Seperti mengatakan "Ya Allah sesungguhnya aku sangat butuh kepada-Mu, aku adalah tawanan-Mu, sanagat mengharapkan ampunan-Mu, pengharapanku dari-Mu terhadap rahmat dari sisi-Mu". Adapun dalil bahwa contoh semacam ini adalah termasuk tawasul yang disyariatkan adalah doa Dzakaria ‘alaihi salam (yang artinya), "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang istriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putra" (Maryam:4-5) dan di antaranya juga perkataan Musa ‘alaihi salam "Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku". (Alqashash:24)

Maka ini adalah sebagian dari macam-macam tawasul yang disyariatkan yang semestinya seorang muslim untuk bersemangat kepadanya, dan membuka do’a dengannya sebagai wujud permintaan kepada Allah untuk ditunaikan hajatnya.

Tawasul Bid’ah dan Syirik

Kemudian ada beberapa macam tawasul yang dilakukan oleh sebagian manusia, di antaranya ada yang mencapai batas bid’ah, dan syirik dengan anggapan bahwa yang mereka perbuat adalah perbuatan taqarub kepada Allah. Sesungguhnya mereka tidak mengerti bahwa perbuatan taqarub kepada-Nya hanyalah dengan sesuatu yang disyari’atkan bukan dengan hawa nafsu dan kebid’ahan.

Di antara macam tawasul yang bid’ah adalah meminta do’a dari orang yang telah mati,seperti datang kepada mayit yang dikubur padahal dia sendiri tidak dapat mendatangkan manfaat ataupun madharat terhdap dirinya sendiri, kemudian orang tersebut minta darinya agar dia mendo’akan kepada Allah baginya dalam suatu perkara seperti kesembuhan dari sakitnya. Dalil tentang bid’ahnya tawasul ini adalah tertolaknya dalil yang membolehkannya, padahal ibadah hanyalah diperbuat dengan ittiba (mengikuti dalil) bukan dengan ibtida’ (membuat bid’ah). Hal lain yang menunjukan bid’ahnya tawasul ini adalah para shahabat yang mereka itu sangat banyak ilmunya dan paling keras dalam mengambil contoh terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka sedikitpun tidak pernah mengamalkan amalan ini. Kalau seandainya amalan ini baik niscaya mereka lebih dulu dalam mengamalkannya, sampai Umar radhiyallahu anhu ketika terjadi masa kekeringan di Madinah, beliau mendatangi Abbas paman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar dia mendoa’kan kepada Allah agar mendurunkan hujan, tidaklah Umar meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di kuburannya karena Umar tahu tentang terlaranagnya hal tersebut.

Adapun yang termasuk tawasul yang diada-adakan manusia dan ini termasuk katagori syirik adalah meminta kepada orang mati untuk dihilangkannya kesempitan dan dipenuhi segala kebutuhannya. Siapa saja mayit itu baik seorang yang shaleh, nabi ataupun para rasul. Hal ini karena doa adalah ibadah dan ibadah itu tidak boleh diperuntukkan kecuali untuk Allah ta’ala. Maka berdoa kepada selain Allah adalah syririk dan menghinakan. Allah berfirman (yang artinya), "Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina" (Ghafir:60).

Kemudian Allah pun memerintahkan agar do’a itu hanya bagi-Nya dan mengkaitkan jawaban atas doa itu dengan keikhlasan kepada-Nya "Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." dan juga firman-Nya: "Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang lalim".(Yunus 106)

Maka ini adalah macam-macam tawasul dalam do’a dan hukum-hukumnya, semestinya bagi setiap muslim untuk lebih bersemangat terhadap parkara yang disyariatkan, dan bersungguh-sungguh dalam berdo’a kepada Allah dalam segala keadaan, sampai Allah tahu jujurnya kefaqiran dia terhadap-Nya sehingga Allah mengabulkan do’anya dan menolongnya. Dan bagi setiap muslim juga wajib untuk menjauhkan diri dari tawasul yang bid’ah, dan supaya menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari tawasul yang syirik, kalau hal itu sangat berbahaya terhadap agama dan aqidah seorang muslim. Kami minta kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang yang mendengar ucapan ini kemdian mengikuti yang terbaik darinya. Sesungguhnya segala puji hanya untuk Allah.

Judul Asli:
Tawasul (Menjadikan Perantara dalam Ibadah) Antara Sunnah, Bid’ah, dan Syirik

Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung
Edisi ke-21 Tahun ke-1 / 09 Mei 2003 M / 07 Rabi’ul Awwal 1424 H

0 KHAWARIJ : Kelompok Sesat Pertama dalam Islam

Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Al-Atsari, Lc

Laa hukma illa lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah Subhanahu Wata’ala). Kata-kata ini haq adanya, karena merupakan kandungan ayat yang mulia. Namun jika kemudian ditafsirkan menyimpang dari pemahaman salafush shalih, kebatilanlah yang kemudian muncul. Bertamengkan kata-kata inilah, Khawarij, kelompok sempalan pertama dalam Islam, dengan mudahnya mengkafirkan bahkan menumpahkan darah kaum muslimin.

SIAPAKAH KHAWARIJ ?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Mereka adalah orang-orang yang memberontak terhadap pemerintah di akhir masa kepemimpinan ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu yang mengakibatkan terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu. Kemudian di masa kepemimpinan ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, keadaan mereka semakin buruk. Mereka keluar dari ketaatan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu, mengkafirkannya, dan mengkafirkan para shahabat. Ini disebabkan para shahabat tidak menyetujui madzhab mereka. Dan mereka menghukumi siapa saja yang menyelisihi madzhab mereka dengan hukuman kafir. Akhirnya mereka pun mengkafirkan makhluk-makhluk pilihan yaitu para shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31)

Cikal bakal mereka telah ada sejak jaman Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Diriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata: Ketika kami berada di sisi Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan beliau sedang membagi-bagi (harta), datanglah Dzul Khuwaisirah dari Bani Tamim, kepada beliau. Ia berkata: “Wahai Rasulullah, berbuat adillah!” Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam pun bersabda: “Celakalah engkau! Siapa lagi yang berbuat adil jika aku tidak berbuat adil? Benar-benar merugi jika aku tidak berbuat adil.”

Maka ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku untuk memenggal lehernya!” Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam berkata: “Biarkanlah ia, sesungguhnya ia akan mempunyai pengikut yang salah seorang dari kalian merasa bahwa shalat dan puasanya tidak ada apa-apanya dibandingkan shalat dan puasa mereka, mereka selalu membaca Al Qur’an namun tidaklah melewati kerongkongan mereka [1], mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari ar-ramiyyah [2], dilihat nashl-nya (besi pada ujung anak panah) maka tidak didapati bekasnya. Kemudian dilihat rishaf-nya (tempat masuknya nashl pada anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat nadhiy-nya (batang anak panah) maka tidak didapati bekasnya, kemudian dilihat qudzadz-nya (bulu-bulu yang ada pada anak panah) maka tidak didapati pula bekasnya. Anak panah itu benar-benar dengan cepat melewati lambung dan darah (hewan buruan itu). Ciri-cirinya, (di tengah-tengah mereka) ada seorang laki-laki hitam, salah satu lengannya seperti payudara wanita atau seperti potongan daging yang bergoyang-goyang, mereka akan muncul di saat terjadi perpecahan di antara kaum muslimin.”

Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Aku bersaksi bahwa aku mendengarnya dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan aku bersaksi pula bahwa ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu yang memerangi mereka dan aku bersamanya. Maka ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu memerintahkan untuk mencari seorang laki-laki (yang disifati oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, di antara mayat-mayat mereka) dan ditemukanlah ia lalu dibawa (ke hadapan ‘Ali), dan aku benar-benar melihatnya sesuai dengan ciri-ciri yang disifati oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.” (Shahih, HR. Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitabuz Zakat, bab Dzikrul Khawarij wa Shifaatihim, 2/744)

Asy-Syihristani Rahimahullah berkata: “Siapa saja yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin yang sah, yang telah disepakati, maka ia dinamakan Khariji (seorang Khawarij), baik keluarnya di masa shahabat terhadap Al-Khulafa Ar-Rasyidin atau terhadap pemimpin setelah mereka di masa tabi’in, dan juga terhadap pemimpin kaum muslimin di setiap masa.” (Al-Milal wan Nihal, hal. 114)

MENGAPA DISEBUT KHAWARIJ ? [3]

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Dinamakan Khawarij dikarenakan keluarnya mereka dari jamaah kaum muslimin. Dikatakan pula karena keluarnya mereka dari jalan (manhaj) jamaah kaum muslimin, dan dikatakan pula karena sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Akan keluar dari diri orang ini…” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Rahimahullah berkata: “Dinamakan dengan itu (Khawarij) dikarenakan keluarnya mereka dari din (agama) dan keluarnya mereka dari ketaatan terhadap orang-orang terbaik dari kaum muslimin.” (Fathul Bari Bisyarhi Shahihil Bukhari, 12/296)

Mereka juga biasa disebut dengan Al-Haruriyyah karena mereka (dahulu) tinggal di Harura yaitu sebuah daerah di Iraq dekat kota Kufah, dan menjadikannya sebagai markas dalam memerangi Ahlul ‘Adl (para shahabat Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam). (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 7/145)

Disebut pula dengan Al-Maariqah (yang keluar), karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentang muruq-nya (keluarnya) mereka dari din (agama). Disebut pula dengan Al-Muhakkimah, karena mereka selalu mengulang kata-kata Laa Hukma Illa Lillah (tiada hukum kecuali untuk Allah Subhanahu Wata’ala), suatu kalimat yang haq namun dimaukan dengannya kebatilan. Disebut pula dengan An-Nawashib, dikarenakan berlebihannya mereka dalam menyatakan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu. (Firaq Mu’ashirah, 1/68-69, Dr. Ghalib bin ‘Ali Al-Awaji, secara ringkas)

BAGAIMANAKAH MAHDZAB MEREKA ?

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata, madzhab mereka adalah tidak berpegang dengan As Sunnah wal Jamaah, tidak mentaati pemimpin (pemerintah kaum muslimin, pen), berkeyakinan bahwa memberontak terhadap pemerintah dan memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin merupakan bagian dari agama. Hal ini menyelisihi apa yang diwasiatkan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar senantiasa mentaati pemerintah (dalam hal yang ma’ruf/ yang tidak bertentangan dengan syariat), dan menyelisihi apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam firman-Nya (yang artinya): “Taatilah Allah, dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Allah Subhanahu Wata’ala dan Nabi-Nya Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan ketaatan kepada pemimpin sebagai bagian dari agama… Mereka (Khawarij) menyatakan bahwa pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) telah kafir, tidak diampuni dosa-dosanya, kekal di neraka. Dan ini bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam Kitabullah (Al Qur’an). (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 31-33)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Mereka berkeyakinan atas kafirnya ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu dan orang-orang yang bersamanya. Mereka juga berkeyakinan sahnya kepemimpinan ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu (sebelum kemudian dikafirkan oleh mereka, pen) dan kafirnya orang-orang yang memerangi ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu dari Ahlul Jamal.” [4] (Fathul Bari, 12/296)

Al-Hafidz Rahimahullah juga berkata: “Kemudian mereka berpendapat bahwa siapa saja yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka, maka ia kafir, halal darah, harta dan keluarganya.” (Fathul Bari, 12/297)

PEPERANGAN KHAWARIJ DENGAN KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB

Setelah Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan terbunuh, maka orang-orang Khawarij ini bergabung dengan pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib. Dalam setiap pertempuran pun mereka selalu bersamanya. Ketika terjadi pertempuran Shiffin (tahun 38 H) antara pasukan Khalifah ‘Ali bin Abu Thalib dengan pasukan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan dari penduduk Syam yang terjadi selama berbulan-bulan -dikarenakan ijtihad mereka masing-masing-, ditempuhlah proses tahkim (pengiriman seorang utusan dari kedua pihak guna membicarakan solusi terbaik bagi masalah yang sedang mereka alami).

Orang-orang Khawarij tidak menyetujuinya, dengan alasan bahwa hukum itu hanya milik Allah dan tidak boleh berhukum kepada manusia. Demikian pula tatkala dalam naskah ajakan tahkim dari ‘Ali bin Abu Thalib termaktub: “Inilah yang diputuskan oleh Amirul Mukminin ‘Ali atas Mu’awiyah…” lalu penduduk Syam tidak setuju dengan mengatakan, “Tulislah namanya dan nama ayahnya,” (tanpa ada penyebutan Amirul Mukminin). ‘Ali pun menyetujuinya, namun orang-orang Khawarij pun mengingkari persetujuan itu.

Setelah disepakati utusan masing-masing pihak yaitu Abu Musa Al-Asy’ari dari pihak ‘Ali dan ‘Amr bin Al-‘Ash dari pihak Mu’awiyah, dan disepakati pula waktu dan tempatnya (Dumatul Jandal), maka berpisahlah dua pasukan tersebut. Mu’awiyah kembali ke Syam dan ‘Ali kembali ke Kufah, sedangkan kelompok Khawarij dengan jumlah 8.000 orang atau lebih dari 10.000 orang, atau 6.000 orang, memisahkan diri dari ‘Ali dan bermarkas di daerah Harura yang tidak jauh dari Kufah.

Pimpinan mereka saat itu adalah Abdullah bin Kawwa’ Al-Yasykuri dan Syabats At-Tamimi. Maka ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu mengutus shahabat Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma untuk berdialog dengan mereka dan banyak dari mereka yang rujuk. Lalu ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu keluar menemui mereka, maka mereka pun akhirnya menaati ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, dan ikut bersamanya ke Kufah, bersama dua orang pimpinan mereka. Kemudian mereka membuat isu bahwa ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu telah bertaubat dari masalah tahkim, karena itulah mereka kembali bersamanya. Sampailah isu ini kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, lalu ia berkhutbah dan mengingkarinya. Maka mereka pun saling berteriak dari bagian samping masjid (dengan mengatakan): “Tiada hukum kecuali untuk Allah.” ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu pun menjawab: “Kalimat yang haq (benar) namun yang dimaukan dengannya adalah kebatilan!”

Kemudian ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu berkata kepada mereka: “Hak kalian yang harus kami penuhi ada tiga: Kami tidak akan melarang kalian masuk masjid, tidak akan melarang kalian dari rizki fai’, dan tidak akan pula memulai penyerangan selama kalian tidak berbuat kerusakan.”

Secara berangsur-angsur pengikut Khawarij akhirnya keluar dari Kufah dan berkumpul di daerah Al-Madain. ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu senantiasa mengirim utusan agar mereka rujuk. Namun mereka tetap bersikeras menolaknya hingga ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu mau bersaksi atas kekafiran dirinya dikarenakan masalah tahkim atau bertaubat. Lalu ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu mengirim utusan lagi (untuk mengingatkan mereka) namun justru utusan tersebut hendak mereka bunuh dan mereka bersepakat bahwa yang tidak berkeyakinan dengan aqidah mereka maka dia kafir, halal darah dan keluarganya.

Aksi mereka kemudian berlanjut dalam bentuk fisik, yaitu menghadang dan membunuh siapa saja dari kaum muslimin yang melewati daerah mereka. Ketika Abdullah bin Khabbab bin Al-Art -yang saat itu menjabat sebagai salah seorang gubernur ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu- berjalan melewati daerah kekuasaan Khawarij bersama budak wanitanya yang tengah hamil, maka mereka membunuhnya dan merobek perut budak wanitanya untuk mengeluarkan anak dari perutnya.

Sampailah berita ini kepada ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, maka ia pun keluar untuk memerangi mereka bersama pasukan yang sebelumnya dipersiapkan ke Syam. Dan akhirnya mereka berhasil ditumpas di daerah Nahrawan beserta para gembong mereka seperti Abdullah bin Wahb Ar-Rasibi, Zaid bin Hishn At-Tha’i, dan Harqush bin Zuhair As-Sa’di. Tidak selamat dari mereka kecuali kurang dari 10 orang dan tidaklah terbunuh dari pasukan ‘Ali kecuali sekitar 10 orang.

Sisa-sisa Khawarij ini akhirnya bergabung dengan simpatisan madzhab mereka dan sembunyi-sembunyi semasa kepemimpinan ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu, hingga salah seorang dari mereka yang bernama Abdurrahman bin Muljim berhasil membunuh ‘Ali Radhiyallahu ‘Anhu yang saat itu sedang melakukan shalat Shubuh. (diringkas dari Fathul Bari karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t, 12/296-298, dengan beberapa tambahan dari Al-Bidayah wan Nihayah, karya Al-Hafidz Ibnu Katsir, 7/281)

KAFIRKAH KHAWARIJ ?

Kafirnya Khawarij masih diperselisihkan di kalangan ulama. Al-Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Sebagian besar ahli ushul dari Ahlus Sunnah berpendapat bahwasanya Khawarij adalah orang-orang fasiq, dan hukum Islam berlaku bagi mereka. Hal ini dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan selalu melaksanakan rukun-rukun Islam. Mereka dihukumi fasiq, karena pengkafiran mereka terhadap kaum muslimin berdasarkan takwil (penafsiran) yang salah, yang akhirnya menjerumuskan mereka kepada keyakinan akan halalnya darah, dan harta orang-orang yang bertentangan dengan mereka, serta persaksian atas mereka dengan kekufuran dan kesyirikan.” (Fathul Bari, 12/314)

Al-Imam Al-Khaththabi Rahimahullah berkata: “Ulama kaum muslimin telah bersepakat bahwasanya Khawarij dengan segala kesesatannya tergolong firqah dari firqah-firqah muslimin, boleh menikahi mereka, dan memakan sembelihan mereka, dan mereka tidak dikafirkan selama masih berpegang dengan pokok keislaman.” (Fathul Bari, 12/314)

Al-Imam Ibnu Baththal Rahimahullah berkata: “Jumhur ulama berpendapat bahwasanya Khawarij tidak keluar dari kumpulan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 12/314)

SEBAB-SEBAB YANG MENGANTARKAN KHWARIJ PADA KESESATAN

Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Yang demikian itu disebabkan kebodohan mereka tentang agama Islam, bersamaan dengan wara’, ibadah dan kesungguhan mereka. Namun tatkala semua itu (wara’, ibadah, dan kesungguhan) tidak berdasarkan ilmu yang benar, akhirnya menjadi bencana bagi mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 35)

Demikan pula, mereka enggan untuk mengambil pemahaman para shahabat (As-Salafush Shalih) dalam memahami masalah-masalah din ini, sehingga terjerumuslah mereka ke dalam kesesatan.

ANJURAN MEMERANGI MEREKA [5]

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Maka jika kalian mendapati mereka (Khawarij-pen), perangilah mereka! Karena sesunggguhnya orang-orang yang memerangi mereka akan mendapat pahala di sisi Allah pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/747, dari shahabat ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu).

Beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda (yang artinya): “Jika aku mendapati mereka (Khawarij), benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum ‘Aad.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu)

Dalam lafadz yang lain beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Jika aku mendapati mereka, benar-benar aku akan perangi seperti memerangi kaum Tsamud.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 2/742, dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu)

Al-Imam Ibnu Hubairah berkata: “Memerangi Khawarij lebih utama dari memerangi orang-orang musyrikin. Hikmahnya, memerangi mereka merupakan penjagaan terhadap ‘modal’ Islam (kemurnian Islam -pen), sedangkan memerangi orang-orang musyrikin merupakan ‘pencarian laba’, dan penjagaan modal tentu lebih utama.” (Fathul Bari, 12/315)

SAMAKAH MUSUH-MUSUH ALI BIN ABI THALIB DALAM PERANG JAMAL DAN PERANG SHIFFIN DENGAN KHAWARIJ ?

Pendapat yang menyatakan bahwa musuh-musuh ‘Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sama dengan Khawarij ini tentunya tidak benar. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Adapun jumhur ahli ilmu, mereka membedakan antara orang-orang Khawarij dengan Ahlul Jamal dan Shiffin, serta selain mereka yang terhitung sebagai penentang dengan berdasarkan ijtihad. Inilah yang ma’ruf dari para shahabat, keseluruhan ahlul hadits, fuqaha, dan mutakallimin. Di atas pemahaman inilah, nash-nash mayoritas para imam dan pengikut mereka dari murid-murid Malik, Asy-Syafi’i, dan selain mereka.” (Majmu’ Fatawa, 35/54)

NASEHAT DAN PERINGATAN

Madzhab Khawarij ini sesungguhnya terus berkembang (di dalam merusak aqidah umat) seiring dengan bergulirnya waktu. Oleh karena itu Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menasehatkan: “Wajib bagi kaum muslimin di setiap masa, jika terbukti telah mendapati madzhab yang jahat ini untuk mengatasinya dengan dakwah dan penjelasan kepada umat tentangnya. Jika mereka (Khawarij) tidak mengindahkannya, hendaknya kaum muslimin memerangi mereka dalam rangka membentengi umat dari kesesatan mereka.” (Lamhatun ‘Anil Firaqidh Dhallah, hal. 37)

Wallahu a’lam bish shawab.

Foot Note:
[1] Al Qadhi Bin Iyadh Rahimahullah berkata, "Padanya terdapat 2 pengertian. Pertama:Hati mereka tidak memahami AL Qur’an tersebut dan tidak pula mengambil manfaat dari apa yang mereka baca. Mereka tidak melakukan kecuali hanya sebatas bacaam mulut dan kerongkongan yang dengannya keluarlah potongan-potongan huruf. Kedua: Amalan dan bacaan mereka tidak diterima di sisi Allah Subhanahu Wata’ala" (Ta’liq Shahih Muslim 2/740, Muhammad Fuad Baqi’)
[2] Al Imam Al Mubarakfuri Rahimahullah berkata, "Ar Ramiyah adalah hewan buruan yang dipanah. Keluarnya mereka (Khawarij) dari agama ini diumpamakan dengan anak apanah yang mengenai buruan lali masuk hingga tembus. Karena beitu cepatnya laju anak panah tersebut (dikarenakan kuatnya si pemanah) maka tidak ada sesuatu pun dari jasad (darah maupun daging) hewan buruan itu yang berbekas pada anak panah" (Tuhfatul Ahwadzi, 6/426)
[3] Kata "Khawarij" merupakan bentuk jamak dari "Kharij" yang artinya "orang yang keluar".
[4] Ahlul Jamal adalal Aisyah Radhiyallau ‘Anhu, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah dan orang-orang yang bersama mereka yang menuntut dihukumnya para pembunuh Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu, setelah mereka membai’at Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu.
[5] Adapun memerangi mereka bukanlah urusan perorangan atau kelompok tertentu namun dibawah naungan pemerintah sebagaimana dijelaskan para ulama dalam buku-buku fiqih.

Sumber: Majalah Asy Syariah
Vol I/No. 04/ Desember 2003/ Syawwal 1424 H
Halaman 6-10

0 Taqlid dan Fanatisme Golongan

Al Ustadz Idral Harits
"Kiai-ku lebih pintar dari kamu!", "Imamku-lah yang paling benar!", ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan, penyakit yang telah lama menjangkiti umat.

Hancurnya kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak memahami pengertian dan pelajaran yang terdapat pada keduanya.

Demikian pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ah serta khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama yang menumbuhsuburkan taqlid.

Berbagai kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya pada dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal. Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut para imam tersebut adalah pengakuan dusta.

Kita dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbagai kebid’ahan bahkan khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermadzhab Fulani. Innaa lillah wa Inna ilaihi raji’un.

Begitu hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini, muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain, tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa makhluk ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini: "Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah." (Al A’raf: 12)

Definisi Taqlid

Taqlid secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ، يُقَلِّدُ) yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari oleh dalil atau hujjah yang jelas.

Dari pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’an lalu mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu." (Az-Zukhruf: 21-25)

Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah, mengatakan: "Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan, kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari dalil yang jelas -hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka mengatakan kalimat yang sama dengan orang yang biasa bermewah-mewah: ‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini."

Firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah." (At-Taubah: 31)

Maksudnya, mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut. Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya):"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’." (Al-Anbiya’: 52-53)

Dan perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Az-Zukhruf: 24)

Dan para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang jelas.

Demi Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan kita rasakan.

Al-’Allamah Al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil. Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ah ini tercapailah tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari hal itu.

Beliau juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!" (Al-Hasyr: 7)

Dan adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Daftar bacaan:
1. Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr
2. Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
3. Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi
4. Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani
5. Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki
6. Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani
7. Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi
8. Al-Ihkam, Ibnu Hazm


Ucapan Para Imam Tentang Taqlid

Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, "Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya." Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, "Haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan)."

Al-Imam Malik rahimahullah mengatakan, "Saya hanyalah manusia biasa, mungkin salah dan mungkin benar. Maka perhatikanlah pendapatku, apabila sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak sesuai dengan keduanya maka tinggalkanlah."

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Semua permasalahan yang sudah disebutkan dalam hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah mati."

Al-Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, "Janganlah kalian taqlid kepadaku dan jangan taqlid kepada Malik atau Asy-Syafi’i, atau Al-Auza’i, ataupun (Sufyan) Ats-Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka mengambilnya."

Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Edisi ke-10 Tahun ke-3 / 04 Februari 2005 M / 24 Dzul Hijjah 1425 H

0 Wajibnya Sholat Berjama’ah di Masjid

Al Ustadz Abu Rosyid

Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakr untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.


Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:

1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’

Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43).

Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: "Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya (yanga artinya): "Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43), Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Muthlaqnya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya." (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).

2. Perintah Melaksanakan Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut

Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman (yang artinya): "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata". (An-Nisa`:102).

Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: "Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi." (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).

3. Perintah Nabi untuk Melaksanakan Shalat Berjama’ah

Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda (yanga artinya): "Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) di antara kalian mengimami kalian." (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).

Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.

4. Larangan Keluar dari Masjid setelah Dikumandangkan Adzan

Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: "Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar salah seorang di antara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).

5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah

Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:

a. keadaannya yang buta,
b. tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c. jauhnya rumahnya dari masjid,
d. adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e. adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f. umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.

Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid". Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: "Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?" ia menjawab "benar", maka Rasulullah bersabda: "Penuhilah panggilan tersebut."

Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.

Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya

Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: "Wa buyuutuhunna khairullahunna" (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi aurotnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.

Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.

Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya

Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: "Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya.", dalam lafazh yang lain ia berkata: "Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka mengatakan: "sebutkan sanad kalian!" Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya." (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).

AKIBAT YANG JELEK BAGI ORANG YANG TIDAK MEMENUHI PANGGILAN UNTUK SUJUD

Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah berfirman (yanga artinya): "Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:42-43).

Yang dimaksud dengan "seruan untuk sujud" adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: "Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya" (Ruhul Ma’ani 29/36).

Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: "Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).

Telah Berkata Sa’id bin Jubair: "Mereka mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut." (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).

Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: "Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan tersebut)." (Ibid).

Berkata Ibrahim At-Taimiy: "Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).

Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: "Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah." (Zadul Masir 8/342).

Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjama’ah." (At-Tafsirul-Kabir 30/96).

Dan berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: "Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala: "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: "hayya ‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah".

Dan ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:

Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.

Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).

Dan yang menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah, maka ia berkata: "Dia di neraka." (Al-Mushannaf 1/346 dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).

Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: "Apabila Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya." (Siyar A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).

Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing. Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Maraji’:
1. Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2. Dharuratul Ihtimam bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3. Shahih Muslim
4. Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albaniy



Penulis adalah Asisten Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: Sholat Berjamaah di Masjid, Wajibkah?
Edisi ke-37 Tahun ke-1 / 29 Agustus 2003 M / 01 Rajab 1424 H
Penulis adalah Asisten Ustadz Abu Hamzah Yusuf

0 Pakaian Ketat Bagi Wanita

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin

Beliau berkata, terdapat dalam shahih muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah bersabda (yang artinya): “Ada dua golongan dari ahli neraka yang aku belum pernah melihatnya: pertama, suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor-ekor sapi yang dipakai untuk memukul manusia; kedua, wanita-wanita yang berpakaian tetapi telanjang lenggak lenggok di kepalanya ada sanggul seperti punduk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mendapatkan baunya dan sesungguhnya bau surga itu akan didapatkan dari jarak ini dan itu.”
Maka ucapan Rasulullah, telanjang adalah bahwa mereka memakai pakaian tetapi tidak menutupi yang semestinya tertutup, baik itu karena pendeknya atau tipisnya atau karena ketatnya, diantaranya adalah yang terbuka bagian dadanya, karena yang demikian itu menyelisihi perintah Allah, dimana Allah berfirman : “Dan hendaknya mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya” ( QS An Nur: 31 )

Berkata Al Qurthubi dalam tafsirnya : "Prakteknya adalah hendaknya wanita memakai kain kerudung uantuk menutup dadanya.” Di antaranya lagi adalah yang terbelah bagian bawahnya, jika tidak terdapat penutup lagi di dalamnya, jika ada penutupnya tidak mengapa hanya saja jangan sampai menyerupai yang dipakaikan oleh kaum pria."

Kepada para walinya kaum wanita hendaknya melarang mereka dari memakai pakaian yang haram dan keluar rumah dengan bertabarrruj (bersolek/berdandan) dan memakai wangi-wangian karena para walinya adalah orang yang bertanggung jawab atasnya pada hari kiamat, pada hari di mana seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikit pun, dan begitu pula tidak diterima syafaat dan tebusan dari padanya dan tidaklah mereka akan ditolong. Semoga Allah memberi taufiq bagi semuanya kepada yang dicintai dan diridhainya.

“Konsep pembela yang universal antara haq dan bathil, hidayah dan kesesatan, petunjuk dan penjerumus, jalan kebahagiaan dan kehancuran adalah menjadikan apa-apa yang Allah telah utus dengannya para rasul dan diturunkan dengannya Al Kitab sebagai kebenaran yang wajib untuk diikuti, karena dengannya akan mendapatkan Furqon dan hidayah Ilmu dan Iman.

Adapun yang lainnya dari perkataan manusia diukur diatasnya, apabila sesuai dengannya adalah benar, jika menyelisihinya adalah bathil. Apabila belum diketahui apakah sesuai atau tidak dikarenakan perkataan-perkatan yang global tidak dimengerti maksud pembicaraan atau dimengerti maksudnya tapi tidak tahu apakah Rasul membenarkannya atau tidak maka diam, tidak berkomentar melainkan dengan Ilmu. Sedangkan Ilmu adalah apa-apa yang berdiri diatasnya dalil dan yang bermanfaat adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah” (Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).

Sumber: http://www.salafy.or.id/print.php?id_artikel=148

Delete this element to display blogger navbar

 
© 2010 Pustaka Muslim Blog is proudly powered by Blogger